Adat istiadat merupakan salah satu hal yang tidak
dapat terlepas dari peradaban suatu kaum/kelompok, tidak terkecuali kelompok
masyarakat di Indonesia. Adat Istiadat sendiri memiliki pengertian aturan dan
perbuatan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang mengatur
kehidupan manusia. Aturan yang mengatur kehidupan manusia di Indonesia bisa
menjadi sebuah aturan hukum yang mengikat disebut hukum adat. Hukum adat yang
dimiliki suatu kelompok sangat beraneka ragam dan bisa jadi bertolak belakang
dengan adat istiadat kelompok yang lain. Hal inilah yang membuat tiap kelompok
memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri, sebagaimana pula adat/tradisi
yang berkembang di Desa Cisungsang.
Desa cisungsang
sekarang merupakan perkampungan yang semi-modern. Karakter tersebut ditandai
terutama oleh semakin banyaknya rumah-rumah permanen yang berdinding bata dan
beratapkan genting. Namun beeberapa rumah penduduk masih ada yang mengggunakan
bahan-bahan organik seperti kayu, bambu dan atap nipa. Bahkan beberapa rumah
masih ada yang mempertahankan konstruksi panggung yang dicirikan oleh bangunan
utama ditopang oleh tiang-tiang kayu.
Akses masuk desa
cisungsang dapat ditempuh melalui jalan beraspal. Sebagian sudah menggunakan
aspal hot-mix, tapi ssebagian besar masih berupa jalan desa dengan pasangan
batu-batu belah dan pasir yang disiram aspal. Dari pertigaan jalan antara
cikotok-cibareno, desa cisungsang dapat ditempuh selama sepuluh menit, dengan
menelusuri jalan di sepanjang pinggiran bukit dan jurang terjal. Apabila desa
cisungsang terletak dibagian dalam, kediaman pimpinan kesepuhan Cisungsang
sendiri berada di lokasi Pasir Koja, tepat pintu gerbang masuk desa, dengan
menempati tanah yang cukup luas di atas lereng perbukitan. Letaknya dipisahkan
oleh sebuah lembah dari pemukiman induk Desa Cisungsang.
Menurut legenda
setempata, pemukiman Cisungsang dibuka pertama kali oleh sesepuh kampung
bernama Mbah Ruman. Kampung pertama ini berlokasi di daerah aliran anak sungai
Cisungsang yang bersumber dari Cisitu, sumber air yang cukup besar untuk
persawahan Cisungsang. Sekarang Cisungsang telah berubah menjadi pemukiman
cukup padat. Kepadatan ini dapat dilihat dari jarak satu rumah ke rumah lainnya
berhimpitan, yang masing-masing menghadap ke jalan desa. Bekas tempat tinggal
cikal bakal tersisa pada sebidang tanah terhimpit perumahan penduduk. Sampai
saat ini masih dipelihara sebagai “penanda” kampung pertama di jantung Desa
Cisungsang.
Dalam
tradisi lisan setempat diceritakan bahwwa masyarakat Cisungsang masih memegang
tata cara lama untuk menentukan tempat tinggal mereka. Demikian pula ketika
hendak membangun perkampungan. Areal bakal
hunian penduduk terlebih dahulu harus melalui proses ugem (menyiapkan tempat
secara adat). Kegiatan mempersiapkan lahan huni ini dimulai dengan menentukan
tanah bakal huni. Pada sebidang tanah tersebut kemudian ditandain dengan benang
kain empat warna (merah, putih, hitam, dan abu-abu).
Setelah menetapkan
titik koordinat diatas sebidang tanah, kemudiaan meletakkan seutas benang
merahdi utara dan putih di arah selatan, benang hitam disisi barat dan abu-abu
di sisi timur. Selanjutnya diletakkan beberapa biji padi dititik tengah, dan
air di dalam bambu pada bagian tengah juga. Selanjutnya bakal hunian yang telah
ditandai dibiarkan selama 15 hari. Setelah usai masa diam, para sesepuh kampung
akan memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi.
Perhatian pertama
diarahkan pada indikator benang empat warna, dengan kondisi:
1. Apabila benang merah putus menjadi pertanda
akan timbul mara bahaya yang akan menyerang manusia dan hewan peliharaan.
2. Apabila benang hitam putus, pertanda
kampung akan mengalami kebakaran.
3. Apabila benang abu-abu putus, pertanda penghuni
kampung akan binasa oleh kerud (hewan buas).
4. Apabila benang putih putus, pertanda
kampung akan dilanda murah bugang (kampung akan dilanda bahaya terus-menerus,
karena segala sesuatu mudah mati).
Perhatian kedua
diarahkan pada indikator bibit padi, dengan kondisi:
1. Apabila bibit padi bergeser ke selatan, ke
arah itulah perluasan kampung dibangun.
2. apabila bibit padi bergeser kearah lainnya,
maka ke arah itulah perluasan kampung diorientasikan
Perhatian ketiga
diarahkan pada indikator air dengan kondisi:
Apabila air dalam
belahan bambu surut selama masa penantiaan, maka daerah itu akan mengalami
sengsara (paceklik). Maka daerah tersebut tidak dipertimbangkan untuk dijadikan
tempat hunian. Dan masyarakat harus mencari lokasi lain.
Berbagai pantangan
atau larangan harus dipatuhi oleh selurug penyungsung adat. Maka selain
syarat-syarat diatas, selanjutnya para sesepuh kampung harus mempertingbangkan
hari baik (naptu) untung membangun hunian.
Pada umumnya
dipercaya bahwa pembukaan tanah untuk perkampungantidak dilakukan antara hari
ke-14 bulan Syafar dan hari ke-15 bulan Rabiul Awwal pada penanggalan Hijrah.
Dengan pengecualian pembangunan itu tidak menggunakan bahan yang mudah
terbakar. Apabila seluruh persyaratan di atas sudah terpenuhi, dan kampung siap
untuk dibangun, maka dengan mengabaikan pantangan bulan Syafar dan Maulid,
prosedur berikutnya harus mengikuti tahapan sebagai berikut:
1. hari pertama, membuat lesung (prioritas
untuk makan)
2. hari kedua, membangun kandang (bahan
protein hewani)
3. hari ketiga, membangun mushola (bersyukur
kepada sang Pecipta)
4. hari keempat, mambangun rumah (tempat
berlindung)
5. hari kelima, membangun leuit
(menabung/kewaspadaan pangan)
6. hari keenam, kembali seperti hari pertama
sampai kelima setiap bulannya.
Contoh sederhana
adalah ketika mesyarakat ingin membangun rumah tinggal.Bagi rumah yang akan
menggunakan meterial lokal, terdapat beberapa aturan dalam memilih kayu. Dalam
adat, untuk mencari dan memilih kayu hendaknya:
1. jangan menggunakan kayu pugur (patah
diatas)
2. jangan menggunakan kayu yang ditebang
jatuhnya menyeberangi sungai dan patah pada salah satu sisinya pada waktu
jatuh.
Dalam konteks ini,
ada keharusan untuk memilih kayu yang yang banyak dirambati oleh tanaman lain,
sebagai simbol bahwa menggunakan kayu tersebut diharapkan pemakainya selalu
dapat menjadi tempat berlindung orang lain yang membutuhkan pertolongannya.
Demikianlah tradisi buka kampung dari Desa Cisungsang, hal dapat diambil dari tradisi tersebut adalah keistimewaan penduduk Desa Cisungsang yang sangat memperhatikan masa depan kampung Desa saat membuat lahan tinggal baru, mulai dari segi pangan, tempat ibadah, hingga membangun rumah yang sangat memperhatikan filosofi dari segi material yang digunakan.
Referensi:
Mengenal Masyarakat Adat Banten Kidul, "Mokaha Urang Cisungsang". 2008. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten
0 komentar:
Posting Komentar