Tulisan1_Hukum Adat Buka Kampung Dari Desa Cisungsang

Minggu, 06 Maret 2016


Adat istiadat merupakan salah satu hal yang tidak dapat terlepas dari peradaban suatu kaum/kelompok, tidak terkecuali kelompok masyarakat di Indonesia. Adat Istiadat sendiri memiliki pengertian aturan dan perbuatan yang lazim dituruti atau dilakukan sejak dahulu kala yang mengatur kehidupan manusia. Aturan yang mengatur kehidupan manusia di Indonesia bisa menjadi sebuah aturan hukum yang mengikat disebut hukum adat. Hukum adat yang dimiliki suatu kelompok sangat beraneka ragam dan bisa jadi bertolak belakang dengan adat istiadat kelompok yang lain. Hal inilah yang membuat tiap kelompok memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri, sebagaimana pula adat/tradisi yang berkembang di Desa Cisungsang.

Desa cisungsang sekarang merupakan perkampungan yang semi-modern. Karakter tersebut ditandai terutama oleh semakin banyaknya rumah-rumah permanen yang berdinding bata dan beratapkan genting. Namun beeberapa rumah penduduk masih ada yang mengggunakan bahan-bahan organik seperti kayu, bambu dan atap nipa. Bahkan beberapa rumah masih ada yang mempertahankan konstruksi panggung yang dicirikan oleh bangunan utama ditopang oleh tiang-tiang kayu.
Akses masuk desa cisungsang dapat ditempuh melalui jalan beraspal. Sebagian sudah menggunakan aspal hot-mix, tapi ssebagian besar masih berupa jalan desa dengan pasangan batu-batu belah dan pasir yang disiram aspal. Dari pertigaan jalan antara cikotok-cibareno, desa cisungsang dapat ditempuh selama sepuluh menit, dengan menelusuri jalan di sepanjang pinggiran bukit dan jurang terjal. Apabila desa cisungsang terletak dibagian dalam, kediaman pimpinan kesepuhan Cisungsang sendiri berada di lokasi Pasir Koja, tepat pintu gerbang masuk desa, dengan menempati tanah yang cukup luas di atas lereng perbukitan. Letaknya dipisahkan oleh sebuah lembah dari pemukiman induk Desa Cisungsang.

Menurut legenda setempata, pemukiman Cisungsang dibuka pertama kali oleh sesepuh kampung bernama Mbah Ruman. Kampung pertama ini berlokasi di daerah aliran anak sungai Cisungsang yang bersumber dari Cisitu, sumber air yang cukup besar untuk persawahan Cisungsang. Sekarang Cisungsang telah berubah menjadi pemukiman cukup padat. Kepadatan ini dapat dilihat dari jarak satu rumah ke rumah lainnya berhimpitan, yang masing-masing menghadap ke jalan desa. Bekas tempat tinggal cikal bakal tersisa pada sebidang tanah terhimpit perumahan penduduk. Sampai saat ini masih dipelihara sebagai “penanda” kampung pertama di jantung Desa Cisungsang.
Dalam tradisi lisan setempat diceritakan bahwwa masyarakat Cisungsang masih memegang tata cara lama untuk menentukan tempat tinggal mereka. Demikian pula ketika hendak membangun perkampungan. Areal bakal hunian penduduk terlebih dahulu harus melalui proses ugem (menyiapkan tempat secara adat). Kegiatan mempersiapkan lahan huni ini dimulai dengan menentukan tanah bakal huni. Pada sebidang tanah tersebut kemudian ditandain dengan benang kain empat warna (merah, putih, hitam, dan abu-abu).

Setelah menetapkan titik koordinat diatas sebidang tanah, kemudiaan meletakkan seutas benang merahdi utara dan putih di arah selatan, benang hitam disisi barat dan abu-abu di sisi timur. Selanjutnya diletakkan beberapa biji padi dititik tengah, dan air di dalam bambu pada bagian tengah juga. Selanjutnya bakal hunian yang telah ditandai dibiarkan selama 15 hari. Setelah usai masa diam, para sesepuh kampung akan memeriksa perubahan-perubahan yang terjadi.

Perhatian pertama diarahkan pada indikator benang empat warna, dengan kondisi:
1.     Apabila benang merah putus menjadi pertanda akan timbul mara bahaya yang akan menyerang manusia dan hewan peliharaan. 
2.    Apabila benang hitam putus, pertanda kampung akan mengalami kebakaran. 
3.    Apabila benang abu-abu putus, pertanda penghuni kampung akan binasa oleh kerud (hewan buas). 
4.    Apabila benang putih putus, pertanda kampung akan dilanda murah bugang (kampung akan dilanda bahaya terus-menerus, karena segala sesuatu mudah mati).

Perhatian kedua diarahkan pada indikator bibit padi, dengan kondisi:
1.     Apabila bibit padi bergeser ke selatan, ke arah itulah perluasan kampung dibangun.
2.    apabila bibit padi bergeser kearah lainnya, maka ke arah itulah perluasan kampung diorientasikan

Perhatian ketiga diarahkan pada indikator air dengan kondisi:
Apabila air dalam belahan bambu surut selama masa penantiaan, maka daerah itu akan mengalami sengsara (paceklik). Maka daerah tersebut tidak dipertimbangkan untuk dijadikan tempat hunian. Dan masyarakat harus mencari lokasi lain.
Berbagai pantangan atau larangan harus dipatuhi oleh selurug penyungsung adat. Maka selain syarat-syarat diatas, selanjutnya para sesepuh kampung harus mempertingbangkan hari baik (naptu) untung membangun hunian.
Pada umumnya dipercaya bahwa pembukaan tanah untuk perkampungantidak dilakukan antara hari ke-14 bulan Syafar dan hari ke-15 bulan Rabiul Awwal pada penanggalan Hijrah. Dengan pengecualian pembangunan itu tidak menggunakan bahan yang mudah terbakar. Apabila seluruh persyaratan di atas sudah terpenuhi, dan kampung siap untuk dibangun, maka dengan mengabaikan pantangan bulan Syafar dan Maulid, prosedur berikutnya harus mengikuti tahapan sebagai berikut:

1.     hari pertama, membuat lesung (prioritas untuk makan)

2.    hari kedua, membangun kandang (bahan protein hewani)

3.    hari ketiga, membangun mushola (bersyukur kepada sang Pecipta)

4.    hari keempat, mambangun rumah (tempat berlindung)
5.    hari kelima, membangun leuit (menabung/kewaspadaan pangan)
6.    hari keenam, kembali seperti hari pertama sampai kelima setiap bulannya.

Contoh sederhana adalah ketika mesyarakat ingin membangun rumah tinggal.Bagi rumah yang akan menggunakan meterial lokal, terdapat beberapa aturan dalam memilih kayu. Dalam adat, untuk mencari dan memilih kayu hendaknya:
1.     jangan menggunakan kayu pugur (patah diatas)
2.    jangan menggunakan kayu yang ditebang jatuhnya menyeberangi sungai dan patah pada salah satu sisinya pada waktu jatuh.
 

Dalam konteks ini, ada keharusan untuk memilih kayu yang yang banyak dirambati oleh tanaman lain, sebagai simbol bahwa menggunakan kayu tersebut diharapkan pemakainya selalu dapat menjadi tempat berlindung orang lain yang membutuhkan pertolongannya.

Demikianlah tradisi buka kampung dari Desa Cisungsang, hal dapat diambil dari tradisi tersebut adalah keistimewaan penduduk Desa Cisungsang yang sangat memperhatikan masa depan kampung Desa saat membuat lahan tinggal baru, mulai dari segi pangan, tempat ibadah, hingga membangun rumah yang sangat memperhatikan filosofi dari segi material yang digunakan.

Referensi:
Mengenal Masyarakat Adat Banten Kidul, "Mokaha Urang Cisungsang". 2008. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten

0 komentar:

Posting Komentar